Estafet Tiga Kereta ke Gunung Padang ( Relay Three Trains to Gunung Padang )
- Admin
- Dec 30, 2017
- 4 min read
Updated: Jun 21, 2022
Sadar bukan yang terbaik, namun hal sederhana yang telah kami lakukan ini, semoga dapat membantu geliat gairah pariwisata minat khusus di Tatar Pasundan, ditampilkan dari sudut pandang berbeda, melalui uniknya seni perjalanan berkereta api.
Estafet 3 kereta ke Gunung Padang, sebuah rangkaian perjalanan berganti 3 kereta menuju situs megalitikum Gunung Padang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 26 - 27 Desember 2017.
26 Desember 2017.
Kereta rel listrik Commuter Line dari Lenteng Agung menuju Bogor jadi kereta pertama, mengawali perjalanan kami ke Gunung Padang. Seolah tak peduli riuh rendah penumpang, kereta melaju susuri jejak semangat Nederlandsche Indische Spoorweg Maatschappij ( NISM ) membuka lintas Batavia ( kini Jakarta ) - Buitenzorg ( Bogor ) akhir abad 19 lalu. Pada perkembangan berikutnya, Electrische Staatsspoorwegen ( ESS ) memodernisasinya jadi jalur kereta listrik seutuhnya tahun 1930an. Gardu listrik aliran atas Depok dan Kedung Badak, peninggalan ESS, masih tegak berdiri hingga detik ini. Pukul 11.00 wib, ular besi bertenaga listrik ini tiba di Kota Hujan. Suasana stasiun meriah bertepatan masa libur Natal dan Tahun Baru. Kaki melangkah keluar Stasiun Bogor, beringsut perlahan melintasi jembatan penyeberangan ke Stasiun Bogor Paledang untuk berganti kereta kedua tujuan Sukabumi.
Sebagai catatan kecil, tentu akan sangat membantu efiseiensi waktu serta kenyamanan pengguna kereta rel listrik ( terutama lanjut usia dan difabel ) yang hendak berganti kereta ke Sukabumi, jika keberangkatan kereta tujuan Sukabumi dilakukan di Stasiun Bogor saja, tidak harus menyeberang ke Bogor Paledang. Belajar dari keterpaduan antar moda kereta jarak jauh dan kereta listrik di Jatinegara dan Rangkasbitung, menurut hemat kami, hal tersebut ideal dan relevan diterapkan di Stasiun Bogor, gerbang selamat datang pesona Bumi Priangan.
Kereta kedua, KA no 392, Pangrango, perlahan meninggalkan Bogor Paledang pukul 13.10 wib. Hampir 90 persen tempat duduk di kereta -1 kelas 3 terisi. Kereta siang kami sebut sebagai kereta panorama penyegar pandangan mata. Dalam hening, dan jika ada kemauan melihat hal menarik di luar sana, indera penglihatan dan pikiran kita diperkaya warna warni perjalanan kereta. Dengan kecepatan rata-rata 45 km / jam, suling lokomotif dan irama derap roda kereta silih berganti hiasi perjalanan susuri kelak kelok jalan baja tepi lembah Cisadane, hadirkan Gunung Salak, Pangrango, menyelinap di antara perumahan penduduk, perkebunan dan persawahan, khas karakter Priangan. Dari Batu Tulis, Maseng, Cigombong, hingga Sukabumi, guratan napas Staatsspoorwegen masih kental terlihat pada stasiun - stasiun bernuansa pedesaan yang disinggahi. Kesibukan naik turun penumpang jadi atraksi tersendiri menarik perhatian kami.
Pukul 15.45 perjalanan kereta kedua berakhir di Sukabumi. Tak sampai 10 menit jalan kaki dari Stasiun Sukabumi, segera kami santap sajian menu oriental di Rumah Makan Mini Indah, Jalan A Yani no 175A. Selanjutnya semangkuk sekoteng racikan Jalan Odeon, seberang Kelenteng Widhi Sakti, kelenteng tertua di Sukabumi, menghangatkan badan di tengah dinginnya cuaca malam. Kami beristirahat di Hotel Sinar Rejeki, Jl Stasiun Timur no 43.
27 Desember 2017.
Pukul 05.00 wib, dalam cuaca sejuk kami melintasi kesibukan pedagang sayur mayur Pasar Pelita menuju Stasiun Besar Sukabumi. Kemegahan stasiun karya Staatsspoorwegen abad 19 itu masih punya aura kuat sapa penumpangnya. Terlihat perangkat persinyalan antik dalam ruang kontrol PPKA siap untuk tugas pagi itu.
Kereta ketiga, KA no 456, Siliwangi, telah menanti dan segera kami bergegas mencari tempat duduk di kereta-1 kelas 3 tersebut. Pukul 05.45 wib, lengking peluit Bapak Asep Sutisna, Kondektur Pimpinan, awali langkah kuda besi perlahan namun pasti tinggalkan Sukabumi menuju Cianjur. Panorama Bumi Geulis kembali manjakan mata kami. Kawanan itik di antara padi berhias kabut pagi sekitar stasiun Cireungas, kesibukan naik turun penumpang di Gandasoli, liukan kereta susuri salah satu bagian jalur perdana eksotis dari Batavia - Djokdjakarta via Buitenzorg - Tjiandjoer - Bandoeng - Tasikmalaja - Bandjar, serta nuansa pedesaan di stasiun kecil yang disinggahi, menambah semarak perjalanan kereta pagi itu. Riuh rendah penumpang anak - anak membahana saat kereta berkecepatan rendah menembus kelamnya terowongan Lampegan, ingatkan kenangan indah masa kanak - kanak berkereta api.
Pukul 06.25 wib, kami menjejakkan kaki di stasiun Lampegan. Bapak Agus Mustofa dan rekan - rekan armada ojek wisata Lampegan ternyata sudah lebih dari setengah jam siap di menyambut kehadiran kami di stasiun tersebut. Kabut pagi masih menyelimuti stasiun pedesaan berketinggian 439 meter dari permukaan laut dan mulut terowongan pertama di Indonesia itu. Sarapan Bubur Ayam Lampegan hangat buatan Ce Djudjuk, jadi sebuah pengalaman unik tersendiri, menikmati kuliner pagi pedesaan dekat stasiun dan terowongan legendaris tersebut.
Bersama Bapak Agus Mustofa dan rekan, selanjutnya kami menuju Gunung Padang menyusuri jalan berliku di antara perkebunan teh. Tak jarang berhenti sejenak mengabadikan senyum Gunung Pangrango menyambut fajar. Sepanjang perjalanan, terlihat pekerjaan pelebaran dan pembetonan badan jalan serta pembangunan pasar sarana penunjang untuk mempermudah pengunjung menuju kawasan wisata Gunung Padang. Pukul 07.15 wib Kang Hendar dari Pusat Pusat Informasi Turis Gunung Padang menyambut kedatangan kami di. Sambil mempersiapkan diri jelang pendakian, Kang Hendar menjelaskan bahwa situs ini menarik perhatian beberapa turis asing untuk wisata spiritual, bahkan malam hari pun tetap diminati pengunjung. Kang Yudha, rekan Kang Hendar menambahkan, wisata ilmiah seperti foto bintang dan pengamatan langit malam, ideal dilakukan di sini, karena masih minim polusi cahaya .
Pukul 07.30 wib kami mulai mendaki menikmati udara segar pagi menuju areal serakan batu komponen utama pembentuk situs ini. Pengamatan formasi bebatuan, kegiatan fotografi, pengamatan burung, dan berdialog dengan penduduk setempat kami lakukan hingga pukul 12.30 wib. Dalam diam kami lakukan aktifitas masing - masing.
Pukul 13.00 wib, Bapak Agus Mustofa dan rekan kembali menjemput kami untuk kembali ke Stasiun Lampegan. Kegiatan fotografi kembali dilakukan di sini. Pukul 14.41 wib, KA no 457, Siliwangi menjemput kami kembali ke Sukabumi. Selanjutnya KA no 393, Pangrango, telah menanti mengantarkan kami pulang menuju Bogor Paledang. Pesona temaram senja perjalanan pulang menemani perjalanan di kereta-1 kelas 1 tersebut. Tiba pukul 17.50 wib. Kurang lebih pukul 18.30 wib, kereta rel listrik Commuter Line meninggalkan jalur 8 Stasiun Bogor menuju Lenteng Agung, jadi kereta terakhir mengakhiri perjalanan estafet 3 kereta ke Gunung Padang 2 hari 1 malam membawa sejumlah kesan. Sampai jumpa pada perjalanan berikut bersama Ziarah Spoor Barito Guide.



































Comments