top of page

Buka Puasa Bersama Unik di Stasiun Sasaksaat dengan Indonesian Railway Preservation Society

  • Admin
  • Aug 29, 2010
  • 7 min read

Ziarah Spoor Barito Guide menghadiri acara “Buka Puasa Bersama” unik yang diselenggarakan oleh komunitas pelestari sejarah kereta api Indonesia - IRPS ( Indonesian Railway Preservation Society ) di Stasiun Sasaksaat , 28 Agustus 2010.

KA Argo Parahyangan nomor 24L pukul 11.30 WIB dari Stasiun Gambir Jakarta tujuan Bandung, mengantar kami ke stasiun Sasaksaat. Tempat duduk 4abc - 5abcd-Kereta Bisnis 1. Bapak Aditya Dwi Laksana ( Ketua IRPS ) turut menyertai perjalanan hampir 2,5 jam ini.

Meninggalkan Gambir serasa mengawali sebuah peziarahan jejak sejarah perkeretaapian Indonesia, karya generasi pendahulu 1 abad lampau yang telah banyak memberi arti serta sejuta warna jati diri Republik ini. Sejumlah karya monumental seakan menyapa kami, menegur nurani ini untuk berefleksi sejenak atas apa yang telah kami perbuat. Memberikan kesempatan bagi semangat sejarah kereta api tempo doeloe itu berbicara melintasi jaman.

Pintu Air Manggarai, Stasiun Manggarai dengan balai yasanya ( hoofdwerkplaatssen te Mangarai ), sisa-sisa rumah dinas pegawai Staatsspoorwegen jelang viaduct Ciliwung menuju Stasiun Jatinegara,meja putar (turn table)lomokotif milik Depo Lokomotif Jatinegara (buatan Plettery- Delft,Belanda th 1913), eks gardu Listrik Aliran Atas Electrische Staatsspoorwegen (ESS) tahun 1925-an menjadi saksi majunya perkeretaapian Batavia awal abad -20. Stasiun Jatinegara ( Meester Cornelis ),dibangun tahun 1910 ini, menjadi persinggahan berikut selama lebih kurang 5 menit. Kembali kereta melaju menuju Bekasi-Karawang-Cikampek. Jembatan Kedunggede (de Gedonggedeh brug),masih gagah di sungai Citarum,antara Stasiun Kedunggedeh dan Karawang.

Selepas Stasiun Cikampek, perkebunan karet kami lalui hingga Stasiun Sadang dan Stasiun Cibungur. Sambil menikmati panorama, kami menikmati pula santapan di kereta makan : nasi goreng (Rp 16.000/porsi), kopi panas (Rp 5000,-/gelas) dan teh manis hangat (Rp 3000,- /gelas). Di Stasiun Purwakarta, eks depo lokomotif uap Purwakarta berjuang tampakkan pesonanya hadapi gempuran masa. Lintasan berliku menyelinap sawah ladang, perbukitan, menjadi daya tarik tersendiri, menebarkan aroma khas alam Priangan. Dari kejauhan, kilau permukaan air Waduk Jatiluhur tersaji antara Stasiun Ciganea dan Sukatani.

Saat melintas jembatan Cisomang baru (diresmikan tahun 2004), air terjun menjadi suguhan berikutnya. Jembatan lama konstruksi baja masih ada di sisi kiri rel dengan warna oranye. Derap roda kereta, deru lokomotif ditingkahi siulan serulingnya, laksana sebuah simfoni mengiringi perjalanan ziarah spoor kami. Jendela kereta bisnis yang dapat dibuka tutup, memanjakan panca indera kami menikmati momen-momen berkesan liukan kereta api melaju di tikungan berpadu udara pegunungan Priangan.

Pikiran kami mengembara sejenak ke masa kolonial, membayangkan Vlugge Vier, kereta ekspres elite Batavia – Bandoeng, nenek moyang kereta api Argo Parahyangan yang kami naiki ini. Perusahanaan kereta api pemerintah kolonial (Staatsspoorwegen) yang mengoperasikan kereta tersebut mengkombinasikan ketangguhan armada, keindahan alam, ketepatan waktu, serta sentuhan seni sebuah perjalanan berkereta api kepada penumpangnya. Hanya perlu waktu 2,5 jam dari Bandoeng ke Batavia era 1930an. Sebuah kesempatan yang tak disia-siakan untuk mengabadikan momen perjalanan ini. Kami seperti diingatkan pula atas kisah perjalanan oma – opa ke Bandung tempo dulu saat armada lokomotif uap pegunungan Priangan masih berjaya. Lokomotif uap pegunungan ( berglijnlocomotief ) legendaris seri DD 52 di jalur ini tamat sudah riwayatnya tanpa bekas. Lokomotif uap legendaris Priangan lainnya, tercepat era Staatssporwegen saat itu (90 km/ jam), C28 masih beruntung nasibnya. Kita dapat jumpai wujud fisiknya di Museum Transportasi Taman Mini Jakarta.

Usai stasiun Maswati, Kondektur Pimpinan dengan ramah meminta kami mempersiapkan diri karena Sasaksaat sudah di depan mata. Kelamnya terowongan Sasaksaat melingkupi saat kami bergerak dari Kereta Bisnis 1 ke Eksekutif-2 di depan kami.

KA 24L Argo Parahyangan tiba di stasiun Sasaksaat pukul 14.15 wib. Bapak Kondektur turun sejenak mengantarkan kami. Petugas Pimpinan Perjalanan Kereta Api / PPKA ( treindienstleider ) serta rekan Deden Suprayitno ( IRPS Bandung ) turut menyambut kehadiran kereta tersebut. Selanjutnya kereta melanjutkan sisa perjalanan menuju Stasiun Cilame hingga berakhir di Bandung.

Kami pun beristirahat sejenak di stasiun kecil berketinggian 541 m di atas permukaan laut ini. Kesejukan udara berpadu nuansa merah Stasiun Sasaksaat dan tanaman puring hias warna serupa.

Loket unik serta ornamen lain masih terawat baik. Peralatan di ruang PPKA sudah modern. Tempat kedudukan perangkat sinyal mekanik tempo dulu, masih ada seperti sebuah ”bunker” dilapis papan. Empat buah rumah dinas pegawai kereta api “jadoel” Stasiun Sasaksaat tampak di utara dengan anak-anak bermain riang di halamannya.

Rekan Deden Suprayitno, kemudian mendampingi perjalanan ke mulut terowongan Sasaksaat. Kami melewati sebuah bangunan lama setipe rumah dinas pegawai Stasiun Sasaksaat. Karya monumental era Staatsspoorwegen di jalur Jakarta - Bandung via Cikampek tersebut kini tegak menyambut kehadiran kami dengan segala kemegahannya lebih satu abad silam .

Perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda tersebut membangunnya tahun 1902-1903 dengan panjang 950 m menembus bukit Cidepong, desa Sumurbandung, kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, 30 km utara Bandung. Pembuatan terowongan ini seiring pembangunan jalur alternatif Batavia – Bandoeng via jalur alternatif Cikampek – Purwakarta ( jalur ini selesai tahun 1906 ). Jalur tersebut mempersingkat waktu tempuh Batavia - Bandoeng, yang semula harus melalui Soekaboemi. Terowongan ini dilengkapi ruang penyelamat (sleko) untuk keamanan petugas juru periksa jalan / JPJ ( baanschouwer ) dalam menjaga keselamatan perjalanan kereta api. Ujung terowongan ke arah stasiun Maswati terlihat lebih rendah dibandingkan dari arah kami berdiri. Sejenak kami abadikan diri di mulut terowongan tersebut dan salah satu sleko terdepan.

Kemudian KA Ekonomi Mandra dari Purwakarta tujuan Cibatu dan KA Ekonomi Serayu ( Kroya - Jakarta Kota ) silih berganti memasuki terowongan itu.

Setelah puas, kami kembali ke Stasiun Sasaksaat untuk melanjutkan perjalanan melihat jembatan Cirangrang dan Cikubang.

Jembatan Cirangrang hampir 1 km jaraknya dari Stasiun Sasaksaat. Kami melalui jalan setapak, perkebunan penduduk, serta memasuki gorong2 air atau lintasan pejalan kaki di bawah rel kereta api (diperkirakan buatan eks kolonial) hingga menyusuri tepi rel dalam jarak aman menuju jalan negara Plered - Padalarang. Pak Trisilo dan rekan Ari Septia ( IRPS Bandung ) ganti mendampingi kami.

Tampak seorang petugas juru periksa jalan /JPJ berjalan kaki melintasi bentang Jembatan Cirangrang melaksanakan tugasnya ke Stasiun Sasaksaat. Jembatan Cirangrang, konstruksi rangka baja ditopang oleh 4 pilar baja melintasi lembah dan 2 beton melintasi jalan raya Plered- Padalarang. Kami sempat berpapasan dengan kereta Argo Parahyangan dari arah Jakarta hingga tiba di tepi jalan negara tersebut.

Sekitar 500 m ke arah Bandung tampak Jembatan Cikubang ( de Tji-koebang brug ) yang legendaris itu dengan panjang mencapai 300 m dan kedalaman hampir 80 m. Jembatan Cikubang berdiri memiliki konstruksi serupa dengan Jembatan Cirangrang, ditopang oleh 11 pilar baja. Meski pandangan bebas ke jembatan tersebut terhalang oleh jembatan tol Cipularang, namun KA Argo Parahyangan nomor 27L dari Bandung yang melintas jembatan tersebut dapat diabadikan. Sejenak pula kami melepas lelah di sebuah saung sederhana di tepi jalan negara tersebut sambil menikmati segarnya kelapa muda.

Puas mengagumi jembatan Cirangrang dan Cikubang, sebuah angkot mengantar kembali para peziarah spoor ke Stasiun Sasaksaat untuk ikuti Buka Puasa Bersama.

Jelang pukul 18.00 rekan-rekan IRPS mengadakan foto bersama terlebih dahulu. Adzan Maghrib berkumandang, segelas bubur candil terasa nikmat dalam kebersamaan di stasiun kecil ini. Santapan selanjutnya nasi bakar persembahan rekan2 IRPS Bandung menghangatkan kami seiring turunnya kabut tipis dari bukit Cidepong. Emplasemen dan ruang peron Stasiun Sasaksaat menjadi saksi acara sederhana namun unik, dihadiri oleh 36 orang ini. Suasana ramah tamah berlangsung informal. Senda gurau, tawa ria, antara rekan-rekan dan petugas stasiun menghiasi senja di Stasiun Sasaksaat.

Terhitung sudah 7 rangkaian kereta api melintas Stasiun Sasaksaat dari Bandung maupun Jakarta sejak kehadiran kami pukul 14.15 wib tadi hingga pukul 18.00 wib. Cuaca semakin dingin, malam semakin larut. Keheningan mulai menyelimuti stasiun pedesaan ini sambil menantikan kereta yang akan menjemput kami kembali ke Gambir. Satu persatu rekan –rekan IRPS Bandung berpamitan kembali ke rumahnya. Beberapa warga setempat dengan ramah menyapa kami dalam perjalanan pulang usai ibadah sholat di sebuah mushola tak jauh dari Stasiun Sasaksaat. Sarung dan pakaian hangat mereka kenakan u menepis dinginnya malam. Binatang malam bergantian unjuk kebolehannya. Irama jangkrik berbaur dendang sang katak serta aksi kumbang tanduk menemani kami menantikan hadirnya kereta api terakhir dari Bandung. Tak banyak kereta yang melintas, hanya hanya 1 rangkaian kereta Argo Parahyangan dari Gambir tujuan Bandung melintas di hadapan kami pukul 20.00 wib.

Untuk menepis keheningan malam, beberapa peserta berpose layaknya petugas PPKA, mengangkat lampu hansin. Lentera berbahan besi bentuk kubus ukuran panjang 16,5 cm, lebar 14,5 cm, dan tinggi 17,5 cm dilengkapi cerobong asap kecil ini berfungsi bagi petugas PPKA memberikan tanda aman atau tidak aman bagi kondektur dan masinis kereta api untuk melanjutkan perjalanannya waktu malam hari. Lentera antik ini dahulu menggunakan cahaya temaram api senthir berbahan bakar minyak kelapa atau minyak tanah. Dilengkapi kaca merah, hijau dan bening di ketiga sisinya. Tanda aman diberikan, saat petugas PPKA mengangkat lampu hansin dan mengarahkan pendaran cahaya hijau ke arah kondektur dan masinis. Masinis kereta api harus berhenti jika melihat pendaran warna merah terarah kepadanya. Lampu hansin bukan lampu hias belaka. Temaram cahaya lentera mungil ini sudah banyak berjasa menyelamatkan ribuan nyawa penumpang kereta api sepanjang masa. Saat ini temaram api senthir lampu hansin Stasiun Sasaksaat sudah digantikan bohlam listrik, namun makna serta fungsi yang terkandung di dalamnya tak pernah berubah.

Dalam keheningan malam jauh dari gemerlap hingar bingar suasana kota, dedikasi tinggi ditunjukkan para petugas PPKA Stasiun Sasaksaat. Walaupun kereta api yang melintas semakin sepi dan jarang penumpang naik dari stasiun ini, mereka tetap setia pada tugasnya. Merasakan keramahtamahan mereka sambil mendengarkan kisah pengalaman kesehariannya di sebuah stasiun kecil pedesaan, menjadi suatu hal yang memperkaya pengalaman batin kami yang terbiasa hidup di kota besar. Salah satu upaya membuka ruang kesadaran dalam menghargai nilai – nilai kehidupan serta menyikapi aneka perbedaan secara positif dalam meraih tujuan bersama. Sebuah kesan tak terlupakan saat seorang petugas menyiapkan lampu hansin untuk persiapan pemberhentian kereta yang akan membawa kami pulang. Pendaran warna merah diarahkan ke selatan. Sepuluh menit kemudian, petugas PPKA mengumumkan bahwa kereta api yang kami nantikan telah melintasi stasiun Cilame menuju Sasaksaat. Kami bersiap di emplasemen menantikan kehadirannya. Samar-samar sorot lampu lokomotif membias menembus kabut malam dari arah Cilame. Makin lama semakin dekat, dan tampaklah sosok utuh lokomotif dengan rangkaian KA Argo Parahyangan nomor 29L menembus pekatnya malam, berjalan perlahan di jalur 2 dan akhirnya berhenti di hadapan kami tepat pukul 20.45 wib. Kami berpamitan sejenak kepada seluruh petugas yang berdinas malam itu serta menyampaikan terima kasih untuk penyertaan mereka seharian itu.

Sekali lagi dengan keramahan dan tanggung jawabnya, petugas PPKA mengantarkan kami memasuki rangkaian kereta diiringi ucapan terima kasih dan selamat jalan. Rekan Nurcahyo Mukardi ( IRPS Bandung ) turut melepas kepulangan kami. Kereta meluncur kembali ke meninggalkan Sasaksaat menuju Gambir. Kami menempati kereta eksekutif -1 no tempat duduk 7abc– 8abcd. Fasilitas reclining seat bermanfaat bagi kami untuk merebahkan badan setelah beraktivitas seharian yang cukup lumayan menguras tenaga, terlebih tidak ada panorama yang dapat dilihat sepanjang perjalanan malam. Perjalanan ziarah spoor kami berakhir saat kereta tiba pukul 22.55 wib di Stasiun Gambir. Sejumlah kenangan terpatri dalam benak kami serta sebuah niat untuk tetap menjaga warisan sejarah perkeretaapian Indonesia.

Kami menyampaikan terima kasih kepada rekan – rekan Indonesian Railway Preservation Society yang telah mengundang, menyiapkan informasi dan akomodasi perjalanan secara khusus, serta memandu selama acara berlangsung. Terima kasih pula untuk PT. Kereta Api, atas keramahan pelayanan kondektur serta awak KA Argo Parahyangan nomor 24L dan 29L, serta dedikasi para petugas dan penjaga Stasiun serta terowongan Sasaksaat.

Nantikan perjalanan ziarah spoor berikutnya bersama kami.

Comments


Activities
Last Update
File
Tags
Follow Us
  • ziarahspoor baritoguide
  • ziarahspoor baritoguide
  • ziarahspoor baritoguide

© 2017 Ziarah Spoor Barito Guide

bottom of page